haha, ketemu jua. untuk mengawali blog gw. Gw telah putuskan, dengan ini, gw masukin cerpen terbaik sekaligus ter-lele gw waktu klas 2 SMA. And here it goes...“Hayyo, dikumpulkan! Waktunya sudah habis.”, Teriak Pak Karyo kepada murid-muridnya yang sedang ujian fisika. “Argggghhh, Urrggghh, Ouucchh..”, jawab para murid dengan nada hiperbolis. Menandakan keputus-asaan mereka terhadap ujian fisika. Akhirnya, dengan langkah terpaksa, satu persatu murid melangkah ke meja guru untuk mengumpulkan lembar jawaban mereka. Setiap langkah terdengar sangat berat. Seakan-akan ada sebuah batu ginjal besar yang bersarang di ginjal mereka sehingga membuat langkah menjadi berat. Satu persatu dikumpulkan, Pak Karyo dari tadi hanya sibuk menyisir kumisnya yang selalu dibangga-banggakannya.
“Kalau sudah dikumpulkan semua, kalian boleh istirahat.”, ketus Pak Karyo.
“Pak, kan abis ini gak ada istirahat.”, jawab muridnya.
“O ya sudah, berarti habis ini kita belajar ya! Bab baru yang lebih sulit! Pasti kalian suka!”.
Semua murid langsung naik pitam dan heran dengan kelakuan Gurunya yang paling ‘bodoh’ se-jagat.
Waktu pun berlalu hingga sekolah usai. Budi, langsung melabrak Baron di depan pintu sekolah.
“Eh! Monyet! Tadi kenapa lo gak kasih gw contekan? Berani lu ama gua? Hah!”, Budi mengancam Baron dengan Bulpen ‘boleh-nemu’nya dia.
“Enn..ennak ajj..ja, kau kan tadi gak minta contekan! Jj..jadi mana bb..beta tau!”, Balas Baron dengan ketakutan. Wajar saja Baron ketakutan, Budi memang pentolan sekolah yang udah sering pukulin anak-anak lain. Sampai-sampai, guru sekolah pernah hampir mau dipukul oleh Budi, untungnya tidak jadi, karena Budi waktu itu belum bisa pukul orang.
“Eh, bangsat! Gak usah pura-pura budek deh! Punya kuping gak sih! Gue tuh udah teriak-teriak kenceng-kenceng dalem hati buat manggil lo! Tau gak! Laen kali awas lo pura-pura lagi! Rasain nih!”. Terdengar bunyi kepalan tangan yang sangat keras dari Si Budi. Baron pun jatuh tergelepar menerima kepalan hangat dari Budi. Baron hanya menderita sedikit benjol di dahi-nya. Lalu Budi pergi meninggalkan Baron sambil mengumpat-umpat. Baron segera berdiri dan pulang menuju rumah dengan langkah sambil menitikkan air mata, dia berusaha untuk sabar.
Rumahnya tidak jauh dari sekolahnya. Dan sesampainya di rumah, ibunya menyambutnya dengan hangat.
“Eh! Anak Ingusan! Abis ngapain lo? Kenapa tuh jidat! Berantem lagi? Dasar anak gak tau diri! Mau jadi berandalan hah!”
“Baron dilabrak sama Budi, Bu. Gara-gara Baron gak ngasih dia contekan.” Jawab Baron dengan jujur.
“Ah! Gak usah banyak bacot! Masih kecil udah nge-boong! Gimana gede lu! Udah, pergi sana! Cuciin piring sama setrikain baju! Awas kalo nggak selesai!”, bentak ibunya.
“Baik, bu.”
Yah, begitulah sedikit kehidupannya. Ayahnya sudah meninggal sejak dia masih kecil, dan dia sendiri anak tunggal. Ibunya hanya seorang tukang cuci dari rumah ke rumah di komplek real estate sebelah. Tapi, Baron bukan anak yang malas. Dia anak yang rajin. Baik di luar, maupun di dalam sekolah. Tapi anehnya, prestasinya malah berkebalikan dengan kesehariannya di lapangan. Dia selalu mendapat nilai jelek, paling sekitar 4-7. Pernah, dia sekali mendapat nilai 9. Tapi keesokan harinya, nilai 9 tesebut diralat karena gurunya salah koreksi, jadinya dia hanya mendapat 7. Bisa dibilang dia anak sial. Teman-teman sekolahnya sering memanggilnya “Dajjal”, karena takut membawa sial. Sungguh ironis melihat nasibnya. Tapi teman-teman sekolahnya tidak banyak yang peduli dengan dia. Malah dia sering di jadikan bahan tertawaan, isengan, bahkan hiburan bagi anak-anak lain jika sedang stress. Kasihan.
Setelah selesai mencuci piring dan setrika baju, Baron mencuci muka, shalat Dzuhur, berdoa supaya diberikan istri yang cantik, dan bersiap untuk tidur siang. Tiba-tiba ibunya berteriak, “Eit! Eit! Enak aja lo ya! Udah bagus malem bisa tidur, eh siang-siang mo tidur lagi? Kebangetan lo ya! Males banget! Pergi sana! Cari kerja! Terserah mo ngapain, asal lo dapet duit! Kasihan Ibumu nak! Udah ah, capek! Ibu mau tidur dulu.”
“Baik, Bu”, jawab Baron datar.
Baron memang anak yang baik, dia sangat sayang dengan ibunya. Walau segalak apapun, dia tetap menyayanginya. Kasihan.
Akhirnya Baron keluar rumah, berjalan entah kemana, dan tanpa tujuan.
“Oh iya!, beta baru ingat! Beta punya tujuan! Beta harus dapat uang saat pulang nanti! Semangat beta!”, teriaknya dalam hati.
Lalu dia berpikir, kira-kira apa ya yang mesti dia lakukan? Dia membuat sebuah daftar tujuan di pikirannya:
1. Mengemis
2. Meminta-minta
3. “Menjual Beta”
4. Memberi sumbangan
5. Bekerja seperti Ibu, tukang cuci profesional.
Setelah membuat daftar yang sulit, Baron mulai berpikir apa yang harus dipilihnya.
“Mengemis? Hmm… Beta tidak punya bakat mengemis. Beta anak baik! Beta tidak boleh mengemis.”, tatapannya tajam.
“Meminta-minta? Gimana yah, sepertinya menarik. Baiklah! Eh, tapi.. Sepertinya, meminta-minta tidak jauh berbeda dengan mengemis deh.. Ah! Tidak! Beta tidak boleh meminta-minta!”, kepalanya gatal dan digaruk.
“Kalau menjual beta, sepertinya bukan waktu yang tepat. Entar saja, jika sudah besar. Beta masih kecil. Pasti harganya lebih mahal.”, sambil mengelus-elus tiang listrik.
“Memberi sumbangan! Ini dia! Pasti kelihatan bodoh! Beta kan sudah miskin! Buat apa memberi sumbangan!”, mulai marah-marah.
“Ya sudah, beta pilih jalan terakhir, bekerja saja seperti Ibu. Beta kan sayang Ibu! Mungkin dengan jadi tukang cuci, Ibu jadi tidak galak-galak lagi sama beta!”, dia tersenyum puas.
Dengan tekad yang bulat, dan semangat berapi-api, pergilah dia menuju tembok bolong kampung yang menghubungkan kampungnya dengan real estate sebelah. Saat tembok sudah terlihat, dia melihat dua orang preman, pakai anting-anting, tato, serta atribut preman lainnya. Hatinya berdegup kencang, Otaknya mulai berpikir,
“Jangan-jangan dia preman, ah, beta tanya saja pada mereka, siapa tahu bukan.”
“Permisi mas, maaf, mas-mas preman bukan?”, tanya Baron.
“HAH? Kurang ajar! Berani lo ama kita-kita! Gue hajar lu! Lu mau dihajar apa kasih kita duit? Brengsek lu!”, Preman satu reflek berdiri dan marah.
“Stop!! Fren, Gw akhirnya ngerti..”, Kata Preman dua kepada Preman satu dengan muka berkaca-kaca.
“Maksud loh?”, jawab Preman satu dengan nada anak abg jaman sekarang.
“Selama ini kita jadi preman, malakin orang, gebukin orang, berdandan layaknya preman, tapi gara-gara anak ini, anak yang begitu polos, dia masih melihat kita bukan seperti preman! Hati gw tersentuh. Mungkin sudah takdir kita untuk merubah ini semua Fren! Kita harus tobat!”
Preman satu yang tadinya sudah menyiapkan ancang-ancang untuk memukul, tiba-tiba langsung berubah menjadi kemayu yang anteng setelah mendengar ucapan Preman dua.
“Hiks… Hiks.. Lo bener fren…”, langsung Preman satu menangis.
“Udah, cup, cup.. Semua pasti terjadi fren, kita harus berterima kasih dengan anak ini. Karena dia telah menyadari kita. Dan sekarang, kita harus berbuat kebajikan!”, semangat preman dua.
“Sudah mas nagis-nangisnya? Jangan sedih gitu dong mas, beta juga ikut sedih nih. Jadi mas bener kan bukan preman?”, potong Baron.
“Bukan! Kita adalah pembela kebenaran!”, sahut kedua preman itu dengan semangat. Dan langsung berpose yang aneh-aneh.
“Syukurlah, maaf sudah ganggu mas-mas sekalian, permisi beta lewat dulu.”
“Tunggu anak muda! Kami sangat berterima kasih dengan anda. Kami harus berhutang budi. Kami bersedia membantu dan melindungi anda! Kami mohon diizinkan bersama anda, pahlawan kami!”, kata Preman dua dengan tegas.
“Ya itu benar!”, tegas Preman satu.
“O, ya terserah mas-mas. Beta juga senang dibantu, sudah lama beta tidak merasakan kasih sayang, beta juga turut berterima kasih. Ayo, ikut beta!”
“Maaf, sebelum kita pergi, ada baiknya kita kenalan dulu, nama saya Don.”, preman dua jujur.
“Dan saya, Patch!”, preman satu juga jujur.
“Kita adalah, Don Patch Bersaudara!”, mereka berdua berkata dengan kompak. Sekali lagi dengan pose yang lebih aneh.
“Panggil beta, Ron.”, jawab Baron sedikit kurang jujur.
Keluarlah mereka bertiga dari tembok, berjalan-jalan sekitar komplek perumahan elit dengan semangat baru tetapi tetap memiliki tujuan yang sama, menjadi tukang cuci yang baik agar disayang ibu!
“Beta kesini bertujuan mencari kerja, menjadi tukang cuci. Lantas, kalian sendiri bekerja sebagai apa?”, tanya Baron.
“Kami bekerja untuk Ron! Kami bersedia melindungi Ron! Tapi tarif perbulannya Rp. 30.000 perbulan Bos, ini sudah termasuk harga charge.”, kata Don.
“Kita kan sudah buat kontraknya, Bos! Masa lupa?”, tambah Patch.
“Oh iya, mungkin beta sudah mulai tua. Ya sudah, lagipula tdak terlalu mahal. Lebih baik sekarang kita mencari rumah yang akan beta jadikan tempat kerja.”
Karena saking senangnya, Don dan Patch menggandeng dan merangkul si Baron. Mungkin ini sebagian pekerjaannya melindungi Baron. Tiba-tiba, dari ujung jalan komplek terlihat sayup-sayup sekumpulan orang. Dan terdengar suara rebut-ribut dari arah mereka.
“Hajar saja mereka!”
“Habisin aje!”
“Rajam!”
“Cium!”
Akhirnya, gerombolan itu datang menghampiri Don, Patch dan Baron dengan membawa berbagai macam alat-alat keras dan tajam, salah satunya lemari. Don dan Patch langsung membuat formasi siaga satu untuk melidungi Baron. Tampaknya Baron tenang-tenang saja, dia hanya terfokuskan kepada tujuannya. Salah seorang dari gerombolan itu berkata,
“Hoi! Dua Preman sialan! Lu kan yang kemaren malem malingin rumah gue? Ngaku aja deh! Bener gak bapak-bapak?”
“Bener!”, teriak gerombolan itu kompak.
“Maaf, bapak-bapak, atas bukti apa kalian bisa menuduh kami sebagai pencuri? Coba lihat, kami orang baik-baik!”, balas Don.
“Karena kita ini, Pembela Kebenaran!”, tambah Patch.
Terdengar tertawaan dari gerombolan itu.
“Haha,.. Kalian pembela kebenaran? Coba elu berdua ngaca! Dandanan lo aja udah persis preman, bego! Kita Punya bukti kuat!”
Saat mereka melihat ke penampilan mereka, pikiran Don dan Patch langsung ter-flashback dari saat mereka masih kecil hingga kemarin malam, dan tersadar. Tiba-tiba Patch nyeletuk keras.
“Bener juga bapak-bapak ini! Kita kan kemaren masih preman! Gue inget banget tuh kita kan kemaren nyolong lemari kulkas 2 biji! Sungguh pengalaman yang berkesan! Ya kan Don?”
Don langsung kaget karena ucapan Patch yang gamblang dan terkesan bodoh.
“Heh goblok! Bego banget sih lo! Ketahuan nih! Ah udah deh.. Abis kita! Kita kan lagi pura-pura!”, bisik-bisik Don.
“Lu juga goblok! Lagian mau nipu orang gak dandan dulu! Mau kita baru tobat kek, tetep aja kita ketahuan!”, balas Patch. Kali ini tidak berbisik-bisik.
Baron masih bengong melihat keadaan yang terjadi di hadapannya. Dia masih belum mengerti ada masalah apa.
“Jadi gimana bapak-bapak preman pembela kebenaran? Terbukti kan? Jadi sekarang boleh kan kita hajar? Apa mau dibawa ke kantor polisi?”, Tanya seseorang.
“Kalo kabur boleh gak?”, Tanya Patch.
“Wah gak ada tuh, Mas. Tangkep aja yah. Bapak-bapak! Tangkep nih preman dua!”
“Kyaa….”, teriak Don dan Patch.
“Hajar!”
Akhirnya Don dan Patch digotong dan diganyang oleh gerombolan orang tersebut. Seperti layaknya menemukan buruan sedap. Baron pun ditinggal sendirian. Masih bersikap seperti tidak ada apa-apa.
“Ah, mungkin mereka ingin istirahat. Tak apa-apa deh.”, piker Baron.
Telah disimpulkan, bahwa kedua preman tersebut terkena imbas dari Si Anak Sial. Baron A.K.A ‘Dajjal’.
Lanjutlah Baron berjalan, mencari rumah yang tepat. Lalu dia melihat sebuah rumah yang bagus nan indah di pojokan. Lalu dia berkata dalam hati.
“Mungkin ini takdir beta!”
Dipencetlah bel rumah itu sebanyak tiga kali, lalu nyonya rumah keluar menghampiri Baron.
“Ada perlu apa dek? Kita gak punya uang, kita miskin.”, kata nyonya rumah.
“Beta tak peduli nyonya miskin, tapi yang jelas beta tidak bodoh, Nyonya.”, balas Baron.
“Ya sudah, kamu pintar, masuk.”
“Terima kasih, Nyonya.”
Baron pun masuk ke garasi rumah itu, di garasi Baron kembali ditanya oleh nyonya rumah, “Ada perlu apa kamu datang kesini?”
“Beta bukan minta sumbangan atau minta-minta, tapi beta adalah anak tukang cuci profesional. Beta siap mencuci segala hal! Izinkan saya bekerja disini dan dapat uang, Nyonya!”
Nyonya rumah sangat kaget mendengar jawaban dari Baron. Seakan-akan dia mendapat ilham dari Tuhan.
“Syukurlah! Terima kasih tuhan! Baik, kamu saya terima. Asal kamu tahu, masalahnya.”
“Masalah apa, Nyonya? Mungkin beta bisa bantu.”, Baron langsung jongkok.
“Jadi begini, Saya punya anak, anak saya baru saja sakit. Baru saja! Kira-kira baru tiga jam yang lalu. Saya sudah panggilkan seorang dokter, dan katanya, anak saya menderita penyakit yang langka, dan hanya bias disembuhkan dengan..”, pembicaraan Nyonya rumah langsung berhenti.
“Dengan apa, Nyonya?”, balas Baron penasaran.
“Dengan dicuci. Dicuci oleh pencuci yang sangat professional dan handal. Saya dan beberapa pencuci sebelum kamu sudah berusaha mencucikan dia, tapi tidak ada yang bisa!”
“Beta pasti bisa, Nyonya! Dengan bakat yang beta miliki, beta akan berusaha!”
“Baiklah, tapi sebelumnya, nama kamu siapa? Tak kenal maka tak sayang kan?”
“Panggil beta, Ron!”, jawab Baron dengan keren nan cool.
“Omong-omong, anak Nyonya siapa?”
“Dia Budi. Anak sekolah belakang.”
Mata baron terbelak, jantungnya mau copot, persendiannya seakan lepas, dan dia berkata dalam hati, “WHAT DA…..!!! IMPOSSIBLE!”
“Kenapa kamu, Ron?”
“Eh, tidak apa-apa, Nyonya, beta hanya sedang mengumpulkan energi untuk siap mencuci.”, tangan Baron berpose seperti dukun-dukun kebanyakan.
Dengan kejadian seperti ini, dia mencoba berpikir jernih, ternyata dia menyadari bahwa dia anak sial. Setelah Budi menghajarnya tadi siang, Budi langsung sakit. Lalu, Preman yang tadi ditangkap gara-gara hanya menggandeng Baron. Sangat ironis!
“Ya sudah, kamu saya antarkan ke kamarnya, ada yang perlu kau butuhkan, Ron?”
“Beta hanya butuh air keran yang terkucur langsung ke ember, Nyonya.”
“Baiklah, ada lagi?”
“Oya jangan lupa, pastikan H2o murni.”
“Baik.”
Sesampainya Baron di kamar Budi, Budi terlihat terbaring lemas di atas meja. Kasurnya entah kemana, mungkin dijual. Budi langsung kaget melihat ada Baron di kamarnya.
“Hei Baron! Ada apa lo datang kesini, Hah? Gw sakit tauk! Dasar lo anak sial! Mo biking w sial lagi?”
“Tidak Budi, beta kesini mau menyembuhkan kau. Mungkin kau bisa sembuh jika beta cuci. Ingat, beta anak tukang cuci profesional!”
Hati Budi langsung tersentuh, dia sadar akan kesalahan-kesalahannya selama ini. Dapat dipastikan, dia sebentar lagi akan tobat.
“Gw tersentuh! Lo sangat baik, Baron! Gw janji, gw bakal jadi anak baik setelah sembuh. Makasih, Ron! Dan sekarang, cepet lo sembuhin gw! Awas kalo gw ga sembuh!”
“Ya, sama-sama. Beta juga turut senang.”
Lalu setelah semua persiapan lengkap, Baron mulai menyembuhkan Budi dengan mencucinya. Cuciannya sangat rapih, bersih, benar-benar profesional! Tak lama kemudian, Budi langsung menerima khasiatnya, dia sembuh! Sekarang dia bisa jalan lagi! Nyonya rumah langsung tersujud dan berterima kasih kepada Baron, Tiba-tiba keajaiban terjadi, Tubuh baron sekejap berdiri tegap, dan matanya mengedip.
“Inilah keajaiban hati yang tulus. Kau terlepas dari kesialan-kesialan yang kau sebar.”, kata seorang narator menggema dalam cerita ini.
“Terima kasih, om narator!”, jawab Baron.
Dan ternyata terbukti benar. Budi dan Nyonya rumah tidak merasakan kesialan setelah bertemu Baron. Budi pun telah menjadi anak yang baik. Sesuai dengan namanya. Budi.
“Kau telah menyelamatkan anakku, dan sekarang terimalah ini Baron.”
Baron langsung menerima uang sebesar Rp.5000 dari Nyonya rumah.
“Kau tahu kan, kami miskin.”, kata nyonya.
“Tidak apa-apa nyonya, yang penting beta sudah berbuat kebaikan dan sembuh dari penyakit beta, apalagi uang yang saya terima ini, saya sangat berterima kasih.”
Setelah itu, Baron pamit untuk pulang. Dan Budi pun memeluk Baron. Budi pun turut berterima kasih kepada Baron. Pulanglah si Baron ke rumahnya.
Sesampainya di rumah, Baron bertemu dengan ibunya, ibunya langsung menegur Baron dengan keras dan tak kenal ampun.
“Kau sudah pulang nak! Ibu rindu padamu! Kau telah menyadarkan Ibu. Maafkan semua kesalahan Ibu, Baron! Aku sayang kamu.”
Akhirnya mereka sama-sama menangis dan berpeluk.
“Tidak apa-apa Bu, Baron juga salah, selama ini Baron hanya jawab pertanyaan ibu dengan ‘baik, bu’ tanpa ucapan-ucapan lain. Baron gak benci Ibu kok. Baron selama ini menyayangi Ibu.”
Mereka melanjutkan tangisan mereka berdua.
2 menit kemudian.
“Sekarang, mana uang yang lo janjikan? Awas kalo nggak ada duit!”
“Tenang bu, ini uangnya, ikhlas untuk ibu.”
Keluarlah secarik kertas uang Rp. 5000 dari kantongnya dengan sangat hiperbolis, lalu ibunya kembali menangis, dan Baron pun menangis kembali. Akhirnya Baron mendapatkan kehidupan bahagia dan tidak lagi menjadi anak sial, dan men-sial-i orang lain.